Limbah Kulit Mangga Cengkir Menjadi Solusi Antibakteri Alami: Inovasi dari Politeknik Negeri Indramayu
Limbah kulit mangga sering kali dianggap tidak bernilai oleh masyarakat, khususnya di daerah Indramayu yang terkenal sebagai salah satu penghasil mangga terbesar di Indonesia. Namun, siapa sangka bahwa kulit mangga, khususnya jenis Cengkir, menyimpan potensi besar sebagai bahan alami untuk mengatasi masalah kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh tim dosen dari Prodi D3 Keperawatan Politeknik Negeri Indramayu, dipimpin oleh Sari Artauli Lumban Toruan bersama anggota tim Winani dan Bachtiar Efendi, berhasil membuktikan bahwa kulit mangga Cengkir mengandung senyawa aktif yang dapat digunakan sebagai antibakteri alami.
Mengubah Limbah Menjadi Obat Tradisional
Kulit buah mangga Cengkir ternyata kaya akan kandungan senyawa fitokimia, termasuk flavonoid, tannin, triterpenoid, steroid, dan saponin. Senyawa-senyawa ini dikenal memiliki sifat antibakteri, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar obat tradisional. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kandungan senyawa aktif dalam ekstrak kulit mangga dan mengevaluasi efektivitasnya dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen.
Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen laboratorium dengan teknik ekstraksi maserasi, di mana pelarut etanol 96% digunakan untuk mengekstraksi senyawa aktif dari kulit mangga. Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak kulit mangga Cengkir mengandung metabolit sekunder berupa triterpenoid, tannin, dan flavonoid. Ketiga senyawa ini dikenal memiliki potensi besar dalam dunia medis, khususnya sebagai agen antibakteri.
Uji Efektivitas Terhadap Bakteri Patogen
Selain analisis kandungan fitokimia, penelitian ini juga melakukan uji in vitro untuk mengevaluasi efektivitas ekstrak kulit mangga terhadap bakteri patogen. Dua jenis bakteri yang diuji adalah Streptococcus sp. dan Salmonella sp., yang sering menjadi penyebab infeksi pada manusia.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak kulit mangga memiliki kemampuan yang signifikan dalam menghambat pertumbuhan kedua bakteri tersebut. Kandungan triterpenoid, tannin, dan flavonoid bekerja secara sinergis sebagai antibakteri, merusak membran sel bakteri dan mencegah perkembangbiakannya. Temuan ini membuka peluang besar untuk mengembangkan ekstrak kulit mangga sebagai bahan dasar obat herbal atau suplemen kesehatan yang ramah lingkungan dan terjangkau.
Dampak Lingkungan dan Ekonomi
Penelitian ini tidak hanya berfokus pada manfaat kesehatan, tetapi juga memiliki dampak positif terhadap lingkungan dan ekonomi masyarakat. Di Indramayu, kulit mangga sering kali menjadi limbah yang tidak dimanfaatkan, bahkan dapat menjadi sumber pencemaran lingkungan jika dibiarkan menumpuk. Dengan adanya penelitian ini, limbah kulit mangga dapat diolah menjadi produk bernilai tinggi yang dapat mendukung industri kesehatan tradisional.
Menurut ketua peneliti, Sari Artauli Lumban Toruan, “Kulit mangga Cengkir memiliki potensi besar yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal. Kami berharap penelitian ini dapat mendorong inovasi dalam pemanfaatan limbah menjadi produk yang bermanfaat bagi masyarakat.”
Kontribusi Politeknik Negeri Indramayu
Keberhasilan penelitian ini menunjukkan komitmen Politeknik Negeri Indramayu dalam mengembangkan solusi berbasis riset untuk mendukung keberlanjutan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Pemanfaatan kulit mangga sebagai bahan antibakteri tidak hanya mendukung pengembangan obat tradisional, tetapi juga menjadi langkah nyata dalam mempromosikan pengelolaan limbah yang ramah lingkungan.
Dengan hasil penelitian ini, diharapkan lebih banyak inovasi berbasis bahan alam lokal yang dapat dikembangkan untuk menjawab tantangan kesehatan dan lingkungan. Kulit mangga, yang selama ini dianggap limbah, kini memiliki peran penting sebagai agen antibakteri alami, membawa harapan baru bagi pengembangan obat tradisional berbasis ilmiah di Indonesia.